Hukuman Syar'i (Hudud) Zina

oleh Imam Al Mawardi
 Zina ialah tindakan orang laki yang berakal memasukkan pucuk kemaluannya di salah satu tempat; vagina atau dubur wanita yang tidak ada hubungan apapun di antara keduanya. Abu Hanifah mengatakan, bahwa zina terjadi khusus pada vagina dan tidak pada dubur seorang wanita.
Hukuman zina tidak membedakan antara pezina laki-laki dengan pezina wanita. Pelaku zina ialah salah satu dari dua orang; Pertama; bikr. Kedua muhshan (sudah pernah menikah).
Bikr ialah orang yang belum pernah menggauli istri dalam sebuah tali pernikahan yang sah. Jika ia orang merdeka (bukan budak), ia dijatuhi hudud (hukuman syar’i) seratus kali secara merata di seluruh tubuhnya kecuali wajah dan anggota tubuh yang paling vital agar setiap organ tubuh mendapatkan haknya (hukuman). Ia dicambuk dengan cambuk, bukan dengan besi yang membuatnya meninggal dunia atau tidak dengan sesuatu yang membuatnya tidak merasa kesakitan.
Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang mengasingkannya dan mencambuknya sekaligus.
Abu Hanifah tidak menyetujui kedua-duanya dan cukup dengan mencambuknya saja.
Imam Malik berkata, ”Laki-laki pezina diasingkan, sedang wanita pezina tidak diasingkan.”
Imam Syafi’i mewajibkan orang tersebut diasingkan selama setahun dari negerinya ke tempat yang jaraknya minimal sehari semalam. Berdasakan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam,
”Ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah menjadikan jalan bagi wanita-wanita tersebut. (Hukuman zina) antara jejaka dengan gadis adalah cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Dan (hukuman zina) antara laki-laki yang pernah dengan wanita yang pernah menikah ialah cambuk seratus kali dan dirajam.” (Diriwayatkan Mulim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi).
Menurut Imam Syafi’i, hukuman zina bagi orang kafir dengan Muslim tidak ada bedanya, yaitu dicambuk seratus kali, dan diasingkan.
Sedang budak dan orang yang berstatus seperti budak, seperti misalnya budak mudabbar (budak pembebasannya dikaitkan dengan kematian tuannya), atau budak mukatib (budak dalam proses pembebasan dengan membayar sejumlah uang kepada tuannya), atau ummu walad (budak wanita yang mempunyai anak dari hasil hubungannya dengan tuannya), maka hukuman zina mereka ialah lima puluh cambuk separoh dari hukuman orang merdeka, karena status budak mereka.
Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang hukum pengasingan budak yang berzina.
Ada yang berpendapat,” Ia tidak diasingkan, karena jika ia diasingkan, itu merugikan tuannya.” ini pendapat Imam Malik.
Ada yang berpendapat,” Ia diasingkan setahun penuh seperti halnya orang merdeka (bukan budak).”
Menurut madzhab Imam Syafi’i, ” Ia diasingkan setengah tahun, sebagaimana ia dicambuk separoh cambuk orang merdeka (bukan budak).”
Sedang yang dimaksud muhshan ialah orang laki-laki yang pernah menggauli istrinya dalam sebuah pernikahan yang sah. Hukuman zina baginya ialah dirajam dengan batu atau yang sebanding dengannya hingga ia meninggal dunia, tanpa harus melindungi alat vitalnya. Ini berbeda dengan cambuk, karena tujuan dari rajam ialah membunuhnya. Ia tidak dicambuk.
Daud berkata,” Ia dicambuk seratus kali kemudian dirajam.” ini tidak benar, karena hukuman tersebut telah dihapus. Buktinya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam merajam Maiz tanpa mencambuknya (Diriwayatkan Al-Bukhari, Mualim, Abu Daud, dan At Tirmidzi).
Untuk dihukum rajam, seseorang tidak disyaratkan beragama Islam. Jadi orang kafir pun dirajam seperti halnya orang Muslim.
Abu Hanifah berkata, ”Yang dihukum rajam ialah orang Muslim saja. Jadi jika orang kafir berzina, ia dicambuk dan tidak dirajam.” Padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam pernah merajam dua orang yahudi yang berzina.
Hanya muhshan yang dihukum dengan rajam.
Setatus merdeka (bukan budak) termasuk syarat hukuman rajam. Jika budak berzina, ia tidak dirajam. Jika ia beristri, ia dicambuk lima puluh kali. Daud berkata, ”Ia dirajam seperti halnya orang merdeka (bukan budak).”

Homoseksual dan menggauli hewan termasuk perbuatan zina. Pelakunya, jika ia belum menikah, ia dicambuk. Jika sudah menikah, ia dirajam. Ada yang berpendapat, bahwa pelakunya; baik perjaka atau sudah menikah harus dibunuh. Abu Hanifah berkata, “pelakunya tidak dihukum.” Pdahal dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam bersabda,

“Bunuhlah hewan dan orang yang menggaulinya.” (Diriwayatkan Abu Daud dan At Tirmidzi)

Jika jejaka berzina dengan wanita muhshanah (sudah menikah) atau laki-laki muhshanah (sudah menikah) dengan gadis, maka jejaka dan gadis dicambuk, sedang wanita muhshanah dan laki-laki muhshanah dirajam. Jika setelah dihukum, seseorang berzina, ia dihukum lagi.
Jika seseorang berzina hingga berkali-kali dan belum pernah dihukum, maka semua zina yang telah dilakukannya cukup diberi satu hukuman.
Zina bisa dibuktikan dengan salah satu dari dua hal:
  1. Pengakuan
  2. Barang Bukti
Adapun pengakuan, jika orang yang telah baligh dan berakal mengaku sekali berzina dengan sukarela, maka hukuman zina dijatuhkan kepadanya.
Abu Hanifah berkata, ”Aku tidak menjatuhkan hukuman zina kepadanya sebelum dia mengaku hingga empat kali.”
Jika ia harus dijatuhi hukuman zina karena pengakuannya, kemudian setelah itu ia membatalkan pengakuannya sebelum hukuman dijatuhkan kepadanya, ia tidak dijatuhi hukuman.
Abu Hanifah berkata, ”Hukuman tidak gugur dengan pembatalan pengakuannya.”
Adapun barang bukti, ialah kasus zina disaksikan empat orang laki-laki yang adil. Mereka semua mengaku melihat seseorang memasukkan penisnya ke vagina seperti memasukkan pengoles celak ke botol yang berisi celak. Jika mereka tidak menyaksikan seperti sifat di atas, maka tidak dinamakan kesaksian. Jika mereka telah melakukan kesaksian sesuai dengan haknya secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, kesaksian mereka diterima. Abu Hanifah berkata, ”Aku tidak menerima kesaksian mereka jika dilakukan secara terpisah dan aku menjadikan mereka seperti itu sebagai tuduhan zina.”
Jika mereka memberi kesaksian kasus zina setelah setahun atau lebih, kesaksian mereka tetap diterima. Abu Hanifah berkata, ”Aku tidak menerima kesaksian mereka setelah satu tahun dan menjadikan kesaksian mereka tersebut sebagai tuduhan zina.”
Jika saksi kasus zina tidak lengkap empat orang laki-laki, maka mereka dikategorikan sebagai penuduh zina. Mereka dikenakan hukuman menurut salah satu pendapat, dan tidak dikenakan hukuman menurut pendapat yang lain.
Jika barang bukti memberi kesaksian atas pengakuan seseorang bahwa ia telah berzina, maka kesaksian cukup dengan dua orang menurut salah satu pendapat, dan menurut pendapat satunya tidak boleh kurang dari empat orang laki-laki.
Jika pezina dirajam berdasarkan barang bukti, sumur digali untuknya kemudian ketika ia hendak dirajam, kemudian ia turun ke dalamnya hingga separoh badannya dan ia dicegah melarikan diri. Jika ia melarikan diri, ia dikejar dan dirajam kembali hingga meninggal dunia. Jika ia dirajam karena pengakuannya sendiri, ia tidak dibuatkan galian sumur, jika ia kabur, ia tidak dikejar.
Imam atau pihak berwenang yang memerintahkan pezina dirajam diperbolehkan menghadiri proses perajaman pezina tersebut. Ia juga diperbolehkan tidak menghadirinya. Abu Hanifah berkata, ”Pezina tidak boleh dirajam, kecuali dengan dihadiri pihak yang memerintahkan perajamannya.” Ini tidak benar, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda,
”Pergilah wahai Unais kepada wanita tersebut. Jika ia mengaku berzina, rajamlah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, An-Nasai, dan Malik)
Para saksi diperbolehkan tidak menghadiri eksekusi rajam. Abu Hanifah berkata, ”Kehadiran para saksi adalah wajib, dan mereka menjadi orang yang pertama kali merajamnya.”
Ekseskusi hukuman zina tidak dilakukan kepada wanita hamil, hingga ia melahirkan. Juga tidak dilakukan eksekusi kepadanya setelah ia melahirkan, hingga ada pihak yang menyapih anaknya.
Jika zina terjadi karena syubhat (ketidakjelasan) misalnya pernikahan yang tidak sah, atau adanya syubhat (ketidakjelasan) antara istrinya dan wanita lain, atau tidak mengetahui keharaman zina, karena baru masuk islam, maka hukuman zina digugurkan dengan syubhat tersebut. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
”Tolaklah hukuman-hukuman karena syubhat-syubhat.” (Diriwayatkan At Tirmidzi)
Abu Hanifah berkata, ”Jika wanita lain mirip dengan istrinya, itu bukan syubhat baginya. Jika menggauli wanita tersebut, ia dikenakan hukuman zina.”
Jika seseorang menggauli wanita yang masih ada hubungan mahram dengannya dengan akad nikah yang benar, ia dijatuhi hukuman zina. Akad nikah yang diharamkan tersebut bukan sebuah syubhat (ketidakjelasan) yang dengannya hukuman zina bisa digugurkan. Abu Hanifah menjadikannya syubhat (ketidakjelasan) yang menggugurkan hukuman zina.
Jika pezina bertaubat setelah ia tertangkap, hukuman zina tidak gugur darinya. Jika ia bertaubat sebelum tertangkap, hukuman zina gugur darinya menurut salah satu pendapat yang kuat. Allah Ta’ala berfirman:
Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl ayat 119)
Ada dua penafsiran tentang kata jahalatin pada firman Allah Ta’ala diatas:
  1. Bodoh tidak mengetahui keburukan
  2. Syahwatnya terlalu dominan pada dirinya, padahal ia mengetahui bahwa syahwat itu buruk
Itulah penafsiran yang paling terkenal tentang kata jahalati pada ayat di atas, namun orang bodoh yang tidak mengetahui bahwa bahwa syahwat itu buruk, itu tidak berdosa.
Siapa pun tidak dihalalkan menjadi pembela untuk menggugurkan hukuman dari pezina atau pelaku tindak kriminal lainnya, dan orang yang dimintai pembelaan tidak dihalalkan memberikan pembelaan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman,
”Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An Nisa ayat 85)
Ada tiga penafsiran tentang kata al-hasanah dan as-sayyi’ah pada ayat diatas,
  1. Yang dimaksud dengan syafa’at yang baik ialah mencari kebaikan untuk orang yang diberinya syafa’at, sedang syafa’at yang buruk ialah mecari keburukan untuknya. Ini pendapat Al-Hasan dan Mujahid.
  2. Al-hasanah ialah mendoakan kebaikan untuk orang laki-laki yang beriman dan wanita-wanita yang beriman. Sedang as-sayyi’ah ialah mendoakan tidak baik untuk mereka.
  3. Kemungkinan yang dimaksud dengan al-hasanah ialah membebaskan dari kedzaliman, sedang as-sayyi’ah ialah mengeluarkan dari kebenaran. 
Ada dua penafsiran tentang kata kiflun pada ayat di atas;
  1. Yang dimaksud dengan kiflun ialah dosa. Ini penafsiran Al-Hasan


  •     2.  Yang dimaksud dengan kiflun islah bagian. Ini penafsiran As-Sadi



  • (Sumber: Kitab Al Ahkam As Sulthaniyyah karya Imam Al Mawardi)

    Inilah Hukuman dalam Syariat Islam bagi pelaku zina
    "Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu."
    An Nisa ayat 61
    Lalu apakah ada Hukum yang lebih baik dari apa yang telah ditetapkan Allah?

    This entry was posted in ,,. Bookmark the permalink.

    1 Response to Hukuman Syar'i (Hudud) Zina

    1. satryacode says:

      wah,, syukron mas ...
      bermanfaat kali ..

      http://www.safe-computing.co.cc

    Leave a Reply

    Sebelum berkomentar pastikan anda telah membaca keseluruhan postingan. Pastikan komentar anda berhubungan dengan apa yang sedang dibahas. Gunakanlah kata-kata yang baik dan sopan.