Hudud (Hukuman Syar’i) Peminum Minuman Keras

oleh Imam Al Mawardi

Apa saja; baik sedikit atau banyak yang memabukkan; baik khamr (minuman keras), atau anggur adalah haram. Peminumnya dijatuhi hukuman; baik ia mabuk atau tidak mabuk. Abu Hanifah berkata, “Orang yang meminum minuman keras, kendati ia tidak mabuk, dijatuhi hukuman. Orang yang meminum anggur tidak dijatuhi hukuman hingga ia mabuk karenanya.”
Hukuman bagi peminum minuman keras ialah empat puluh kali cambuk dengan tangan, dan ujung pakaian, serta dicela dengan kata-kata yang menyakitkan berdasarkan atsar yang ada.
Ada yang mengatakan, “Ia dicambuk seperti hukuman-hukuman yang lain, dan diperbolehkan jumlah cambuknya lebih dari empat puluh hingga delapan puluh cambuk, jika ia tidak berhenti dari minum minuman keras.”
Umar bin Khathtab Radiyallahu Anhu pernah menghukum peminum minuman keras dengan empat puluh kali cambuk hingga ia melihat banyak sekali manusia yang tidak begitu terpengaruh dengan hukuman tersebut dan tetap meminum minuman keras. Kemudian ia bermusyawarah dengan para sahabat. Umar bin Khathab berkata, “Aku melihat manusia sudah sangat keterlaluan dalam meminum minuman keras, maka bagaimana pendapat kalian?” Ali bin Abu Thalib Radiyallahu Anhu berkata, “Aku berpendapat hendaknya engkau menghukum mereka sebanyak delapan puluh cambuk, karena jika seseorang meminum minuman keras, ia mabuk. Jika ia telah mabuk, ia bicara tidak karuan. Jika ia bicara tidak karuan, ia berdusta. Jadi, hukumannya ialah delapan puluh cambuk seperti hukuman orang yang bohong.” Kemudian Umar bin Khaththab menerapkan hukuman tersebut di sisa masa pemerintahannya dan para imam sesudahnya sebanyak delapan puluh cambuk. (Diriwayatkan Al-Bukhari).

Ali bin Abi Thalib Radiyallahu Anhu berkata, “ Tidak ada seorang pun yang dijatuhkan hukuman padanya hingga ia meninggal dunia kemudian aku merasakan sesuatu pada diriku terhadapnya, kecuali peminum minuman keras. Itulah sesuatu yang kami lihat setelah meninggalnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika peminum minuman keras dihukum empat puluh kali cambuk kemudian meninggal dunia, maka jiwanya tidak ada perhitungan terhadapnya. Jika ia dihukum delapan puluh kali cambuk kemudian ia meninggal dunia, maka jiwanya harus diganti rugi.”
Dua pendapat tentang besarnya ganti rugi jiwa peminum minuman keras yang meninggal dunia karena dicambuk delapan puluh kali;
Pertama, besarnya ialah semua diyat, karena hukuman tersebut melebihi yang ditetapkan nash.
Kedua, besarnya ialah separoh diyat, karena separoh dari hukuman tersebut berdasarkan nash, sedang separoh sisanya adalah tambahan.
Barangsiapa mengaku telah meminum minuman keras, atau meminumnya dalam keadaan tidak mengetahui bahwa minuman keras adalah haram, maka tidak ada hukuman baginya. Jika ia meminumnya karena kehausan, ia dijatuhi hukuman, karena minuman keras tidak bisa menghilangkan rasa haus. Jika ia meminumnya untuk menyembuhkan penyakitnya, ia tidak dihukum, sebab barangkali penyakitnya sembuh dengan minuman keras.
Jika seseorang meyakini kehalalan anggur, ia dihukum, kendati ia orang baik-baik.
Orang mabuk tidak dijatuhi hukuman hingga Ia mengaku telah meminum minuman keras yang memabukkan, atau dua orang saksi menyaksikannya meminum minuman keras secara sukarela, selagi ia tidak diketahui mabuk. Abu Abdullah Az-Zubairi berkata, “Aku menghukumnya selagi ia mabuk.” Ini tidak benar, karena bisa jadi ia dipaksa untuk meminum minuman keras yang memabukkan.
Jika orang yang sedang teler melakukan kemaksiatan, maka hukuman atas kemaksiatannya tetap dijatuhkan kepadanya sama seperti pemberlakuan hukum kepada orang yang sadar. Jika kemaksiatannya terjadi karena ia dipaksa meminum minuman keras atau meminum sesuatu yang tidak ia ketahui bahwa minuman tersebut memabukkan, maka hukuman telah berlaku padanya; karena dianggap seperti orang yang tidak sadarkan diri.
Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang batasan mabuk. Abu Hanifah berpendapat, “Batasan mabuk ialah akalnya hilang hingga ia tidak bisa membedakan antara langit dengan bumi, atau tidak bisa membedakan antara ibunya dengan istrinya.”
Batasan mabuk menurut sahabat-sahabat Imam Syafi’I, “Batasan mabuk ialah orang tersebut berkata dengan bahasa yang ngawur, ungkapan maknanya tidak teratur, gerakannya membabi buta, dan jalannya sempoyongan. Bicaranya, ucapannya tidak bisa dipahami dan ia tidak bisa memahami omongan orang lain, ditambah dengan adanya ketidakberesan pada gerakannya;ketika ia berjalan dan berdiri, ia telah masuk dalam kategori mabuk. Jika lebih dari batasan tersebut, maka itu hanya sekedar tambahan batasan mabuk.

Sumber: Al Ahkam As Sulthaniyyah karya Imam Al Mawardi

This entry was posted in ,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Sebelum berkomentar pastikan anda telah membaca keseluruhan postingan. Pastikan komentar anda berhubungan dengan apa yang sedang dibahas. Gunakanlah kata-kata yang baik dan sopan.