Hukum Islam Seputar Tindak Kriminal

oleh Imam Al-Mawardi


Tindak kriminal adalah segala tindakan yang diharamkan Syariat. Allah Ta’ala mencegah terjadinya tindak kriminal dengan menjatuhkan hudud (hukuman syar’I, atau ta’zir (sanksi disiplin) kepada pelakunya. Jika tindak kriminal baru berupa tuduhan, pelakunya berhak bebas sesuai dengan tuntutan politik agama. Sebaliknya, jika tindak kriminal telah terbukti kuat, pelakunya berhak dikenakan hudud (hukuman syar’i) berdasarkan hukum-hukum syar’i.
Penanganan tuduhan tindak kriminal yang belum terbukti kebenarannya itu tergantung kepada siapa yang menanganinya. Jika pihak yang menangani kasus tuduhan adalah hakim, misalnya seorang tertuduh kasus perzinahan dan pencurian diajukan kepadanya, maka tuduhan kasus perzinahan dan pencurian tersebut tidak mempunyai pengaruh sedikitpun pada diri hakim. Oleh karena itu, hakim tidak boleh menahan tertuduh kasus perzinahan dan pencurian untuk proses penyelidikan dan pembebasan. Hakim juga tidak dibenarkan menghukumnya secara paksa berdasarkan sebab-sebab yang membuatnya memberikan pengakuan (misalnya pemukulan terhadap tertuduh).

Hakim tidak boleh mendengar tuduhan kasus pencurian, kecuali dari pihak yang tidak berbohong dalam tuduhannya, dan harus memperhatikan pengakuan dan penolakan yang keluar dari mulut tertuduh.
Jika seseorang dituduh melakukan hubungan zina, hakim tidak boleh mendengar tuduhan tersebut kecuali setelah penuduh menyebutkan nama wanita yang berzina dengan tertuduh dan menjelaskan apa saja yang dilakukan tertuduh terhadap si wanita. Jika yang dilakukannya adalah zina yang mengharuskan tertuduh terkena hudud (hukuman syar’i) dan tertuduh mengakuinya, maka tertuduh dijatuhi hudud (hukuman syar’i). Sebaliknya jika tertuduh menolak tuduhan zina yang dituduhkan kepadanya, namun terdapat bukti-bukti dalam kasus ini, maka hakim harus mendengarkan bukti-bukti tersebut. Hakim tidak boleh menyuruh tertuduh bersumpah dalam hak-hak yang terkait dengan manusia, kendati penuduh memintanya bersumpah.
Jika pihak yang menangani kasus tuduhan adalah gubernur atau aparat keamanan, misalnya tertuduh diajukan kepadanya, maka terhada tertuduh ini, gubernur mempunyai hak mengadakan penyelidikan dan pembebasan yang tidak dimiliki hakim. Ada Sembilan hal yang membedakan antara hakim dengan gubernur. Kesembilan hal tersebut adalah sebagai berikut ;
Pertama, gubernur tidak boleh mendengarkan tuduhan kepada tertuduh dari para pegawai gubernuran, tanpa merujuk kepada dakwaan yang legal. Namun mereka (para pegawai gubernuran) menjadi rujukan bagi gubernur tentang seluk-beluk tertuduh;apakah tertuduh termasuk orang yang dicurigai? Apakah ia dikenal melakukan tindakan yang dituduhkan kepadanya atau tidak? Jika mereka mengatakan bahwa tertuduh bersih dari tindakan yang dituduhkan kepadanya, maka tuduhan kepadanya menjadi melemah, tertuduh harus segera dibebaskan, dan gubernur tidak boleh bertindak kasar terhadapnya. Namun jika mereka menuduh tertuduh dan mengenalinya melakukan tindakan seperti yang dituduhkan kepada tertuduh sekarang ini, maka tuduhan kepada tertuduh menjadi menguat. Ini tidak bisa dikerjakan seorang hakim.
Kedua, gubernur harus memperhatikan dengan jeli bukti-bukti yang ada, dan perilaku tertuduh untuk menguatkan tuduhan atau melemahkannya. Jika tuduhan adalah tuduhan kasus perzinahan, dan orang yang tertuduh dikenal loyal kepada wanita, hobbi bercanda, dan pandai merayu, maka tuduhan perzinahan kepada tertuduh menjadi kuat. Sebaliknya, jika tertuduh tidak mempunyai perilaku seperti diatas, maka tuduhan berbuat zina yang ditujukan kepada tertuduh melemah. Jika tuduhan adalah tuduhan kasus pencurian, dan tertuduh mempunyai hutang kepada orang lain atau dibadannya terdapat bekas-bekas pemukulan, atau ia membawa linggis ketika ia ditangkap, maka tuduhan pencurian kepadanya menguat. Sebaliknya, jika ia tidak mempunyai kriteria-kriteria seperti di atas, maka tuduhan pencurian kepadanya melemah. Hal ini tidak dibenarkan dilakukan hakim
Ketiga, gubernur berhak mempercepat penahanan tertuduh untuk proses penyelidikan dan pembebasan. Para fuqaha’ berbeda pendapat tentang masa penahanan tertuduh. Abdullah bin Az-Zubairi, salah seorang sahabat Imam Syafi’I berpendapat, “Masa penahanannya untuk proses penyelidikan dan pembebasan adalah sebulan dan tidak boleh lebih dari sebulan. “Fuqaha’ lain berkata, “Masa penahanannya tidak ada batasnya, karena hal ini diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad imam dan pendapatnya.” Sedang hakim, ia tidak diperbolehkan menahan seorang kecuali setelah terbukti tindak kriminal yang telah dilakukannya.
Keempat, jika tuduhan itu kuat, gubernur diperbolehkan memukul tertuduh ta’zir (sanksi disiplin) dan bukan pukulan hudud (hukuman syar’i) agar tertuduh berkata dengan jujur tentang apa yang telah ia lakukan dan dituduhkan kepadanya. Jika ketika dipukul, ia mengaku, maka pengakuan diterima. Jika ia dipukul agar ia mengaku, maka pengakuannya dibawah deraan pukulan tidak berimplikasi hokum. Jika tertuduh dipukul agar ia berkata dengan benar tentang dirinya dan ia mengaku ketika dipukul, maka pukulan dihentikan dan ia disuruh mengulangi pengakuannya. Jika ia mengaku, untuk kedua kalinya, ia dijatuhi hudud (hukuman syar’i) karena pengakuanny yang kedua dan bukan karena pengakuannya yang pertama. Jika ia hanya memberi pengakuan sekali, dan tidak diminta mengulangi pengakuannya maka tidak ada alas an untuk menggunakan pengakuan tersebut, kendati kami memandangnya sebagai hal yang makruh.
Kelima, terhadap penjahat yang seringkali melakukan tindak kriminal (residivis), dan tidak kapok dengan hudud (hukuman syar’i), gubernur diperbolehkan meneruskan penahanannya hingga mati jika tindak kejahatannya membahayakan manusia secara umum. Makanan dan pakaian untuk penjahat tersebut selama ditahan diambilkan dari Baitul mal (kas Negara). Gubernur mengambil langkah tersebut guna menghilangkan kerugian manusia akibat tindak kriminalnya. Hal ini tidak diperbolehkan dikerjakan hakim.
Keenam, gubernur diperbolehkan memerintahkan tertuduh bersumpah untuk pembebasannya, dan bertindak keras kepadanya dalam proses penyelidikan kasus yang menyangkut hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak manusia. Gubernur tidak boleh menjebak penyelidikan kasus yang menyangkut hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak manusia. Gubernur tidak boleh menjebak tertuduh bersumpah tertuduh bersumpah akan menceraikan istrinyaakan menceraikan istrinya atau memerdekakan budaknya atau mengeluarkan sedekah. Gubernur menyuruh tertuduh budaknya atau mengeluarkan sedekah. Gubernur menyuruh tertuduh bersumpah dengan nama Allah Ta’ala seperti halnya dalam pengangkatan pejabat. Sedang hakim,ia tidak boleh menyuruh siapapun bersumpah tanpa alas an yang dapat dibenarkan, dan mereka tidak boleh meninggalkan sumpah dengan nama Allah untuk bersumpah dengan sumpah-sumpah lainnya, misalnya bersumpah akan menceraikan istrinya atau memerdekkan budaknya.
Ketujuh, Gubernur diperbolehkan memerintahkan pelaku tindak kriminal bertaubat secara paksa, dan mengeluarkan ancaman yang akan dikenakan mereka dengan sukarela. Kendati begitu, gubernur tidak boleh megancamnya dibunuh dalam kasus yang ia tidak wajib dibunuh. Ancaman ini sifatnya ancaman teror yang tidak keluar dari batas-batas ta’zir (sanksi disiplin), dan pendidikan. Gubernur juga tidak boleh melaksanakan ancaman pembunuhan terhadapnya dalam kasus yang didalamnya ia tidak wajib dibunuh.
Kedelapan, gubernur diperbolehkan mendengar kesaksian para ulama, dan kesaksian orang-orang yang jika jumlahnya banyak tidak didengar oleh hakim.
Kesembilan, gubernur berhak menangani kasus perkelahian, kendati kasusnya tidak sampai mengharuskan denda atau hudud (hukuman syar’i), serta tidak meninggalkan luka pada salah seorang dari keduanya. Ia berhak mendengar tuduhan pihak yang pertama kali mengeluarkan tuduhan. Jika perkelahian tersebut meninggalkan luka pada salah seorang dari keduanya, maka sebagian ulama berpendapat bahwa gubernur harus mendengar tuduhan pihak yang terluka dan bukan pihak yang lebih dulu mengeluarkan tuduhan. Namun pendapat mayoritas besar fuqaha’ ialah bahwa gubernur harus mendengar tuduhan siapa yang paling dulu mengeluarkan tuduhan, dan orang yang memulai memukul berhak atas denda yang lebih besar, serta sanksi disiplin yang lebih berat.
Gubernur dibenarkan membedakan sanksi disiplin untuk keduanya, dua alasan;
1. Karena bobot penganiayaan keduanya berbeda.
2. Karena ketakutan dan pertahanan keduanya ketika berkelahi berbeda
Jika Gubernur melihat sebagai sikap bijaksana jika untuk menghentikan kejahatan para penjahat, ia mengumumkan daftar tindak kriminal mereka ke khalayak ramai, maka cara tersebut dibenarkan dilakukan gubernur.
Inilah titik perbedaan antara otoritas gubernur dan hakim dalam menangani tindak kriminal sebelum terbukti dengan jelas, karena gubernur mempunyai hak khusus bertindak, sedang hakim mempunyai hak khusus memutuskan perkara.

Hudud (Hukuman Syar’i)
Namun jika tindakan kriminal para pejahat telah terbukti kuat, maka gubernur tidak mempunyai perbedaan dengan hakim dalam menjatuhkan hudud (hukuman syar’i) kepada mereka.
Terbongkarnya tindak kriminal para penjahat bisa diketahui dengan dua hal; pengakuan dan barang bukti.
Masing-masing dari kedua hal di atas mempunyai hukum tersendiri pada babnya masing-masing.
hudud (hukuman syar’i) ialah zawajir (pencegahan-pencegahan) yang disiapkan Allah Ta’ala untuk menghalangi terjadinya kasus pelanggaran terhadap sesuatu yang dilarang Allah Ta’ala dan meninggalkan (tidak mengerjakan) apa yang diperintahkan-Nya untuk dikerjakan, karena dominasi syahwat membuat orang lupa akan ancaman akhirat. Oleh karena itu, Allah Ta’ala membuat hukuman-hukuman yang membuat orang-orang bodoh berhenti dari kejahatannya, sembari memperingatkan mereka akan sakitnya hukuman dan menakut-nakuti mereka dengan siksa yang menyakitkan. Ini semua agar hal-hal yang diharamkan Allah Ta’ala itu dijauhi oleh mereka, dan kewajiban-kewajiban yang Dia perintahkan itu diikuti (diamalkan) oleh mereka, hingga kemudian kemaslahatan menyebar rata, dan taklif (perintah) dikerjakan dengan sempurna. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam .” (Al-Anbiya : 107).
Maksud ayat diatas, bahwa kami tidak mengutusmu melainkan untuk menyelamatkan manusia dari kebodohan, membimbing mereka dari kebodohan, melarang mereka dari maksiat, dan mendorong mereka kepada ketaatan.
Jika demikian permasalahannya, maka Zawajir (pencegahan-pencegahan) terbagi ke dalam dua bagian;
1. Hudud (hukuman syar’i)
2. Ta’zir (sanksi disiplin)
Hudud (hukuman syar’i) terbagi dua;
1. Yang terkait dengan hak-hak Allah Ta’ala
2. Yang terkait dengan hak-hak manusia
Yang terkait dengan hak-hak Allah Ta’ala juga terbagi dua ;
1. Meninggalkan hal-hal yang diwajibkan
2. Mengerjakan hal-hal yang dilarang

Adapun meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, contohnya seperti orang meninggalkan shalat wajib hingga waktunya habis. Orang tersebut harus ditanya sebab-sebab ia meninggalkan shalat wajib tersebut. Jika ia berkata bahwa ia meninggalkannya karena lupa, ia diperintahkan menggantinya pada saat ia ingat tanpa harus menunggu tibanya waktu sholat wajib yang ia tinggalkan, karena Rasulullah SAW berkata,



“Barangsiapa tidur dalam keadaan belum sholat atau lupa belum shalat, hendaklah ia shalat pada saat ia ingat. Itulah waktunya. Tidak ada tebusan bagi shalat tersebut kecuali itu (shalat pada saat ingat).” (Diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, Ad-Darimi, dan Ahmad).
Jika ia meninggalkan shalat fardhu karena sakit, ia harus mengerjakannya sesuai dengan kemampuannya dengan duduk atau berbaring, karena Allah Ta’ala berfirman,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah:286).
Jika ia meninggalkan shalat fardhu tidak wajib, ia kafir karena keyakinannya seperti itu. Hukum orang yang berkeyakinan seperti itu sama seperti hokum orang murtad yang harus dibunuh karena kemurtadannya, jika ia tidak bertaubat dari kemurtadannya.
Jika ia meninggalkan shalat fardhu karena merasa berat mengerjakannya, namun masih meyakini kewajiban shalat, maka para fuqaha’ berbeda pendapat tentang orang tersebut.
Abu hanifah berpendapat, “Pada setiap waktu shalat, ia dipukul, dan tidak dibunuh.”
Ahmad bin Hanbal dan ulama hadits berpendapat, “Dengan meninggalkan shalat fardhu (tidak mengerjakannya), seseorang menjadi orang murtad yang harus dibunuh karena kemurtadannya.”
Imam Syafi’I berpendapat, “Dengan meninggalkan shalat fardhu (tidak mengerjakannya), seseorang tidak divonis kafir. Ia dibunuh sebagai hukuman baginya, namun tidak dalam status orang murtad. Ia tidak dibunuh kecuali sebelumnya disuruh bertaubat. Jika ia bertaubat,dan mengerjakan shalat fardhu, ia dibiarkan (tidak dijatuhi hukuman), dan tetap diperintahkan mengerjakan shalat fardhu.”
Jika ia berkata, “Aku sudah shalat dirumah.” Ia diserahkan kepada kejujurannya, dan tidak boleh dipaksa shalat dengan disaksikan orang banyak. Jika ia menolak bertaubat dan tidak mau shalat, maka karena ia meninggalkan shalat fardhu ini, ia dibunuh seketika itu juga menurut salah satu dari dua pendapat Imam Syafi’I, atau setelah tiga hari menurut pendapat keduanya.
Ia dibunuh dengan pedang dalam keadaan terikat. Abu Al-Abbas bin Suraij berkata, “Ia dibunuh dengan dipukul dengan kayu hingga mati.”
Sahabat-sahabat Imam Syafi’I berbeda pendapat tentang wajib tidaknya ia dibunuh karena menolak meng-qadha (mengganti) shalat-shalat yang tidak ia kerjakan. Sebagian dari mereka berpendapat, “Ia wajib dibunuh seperti ia meninggalkan shalat-shalat fardhu pada waktunya.” Sebagian sahabat-sahabat Imam Syafi’I yang lain berpendapat, “Ia tidak dibunuh karena tidak meng-qadha (mengganti) shalat-shalat yang tidak ia kerjakan, karena shalat-shalat tersebut tetap berada dalam tanggunganya meskipun waktunya telah habis. Ia tetap dishalati setelah dibunuh, dan dikubur dipemakaman kaum muslimin, karena ia masih tercatat sebagai orang muslim, dan harta warisannya dibagikan kepada ahli warisnya.”
Adapun orang yang meninggalkan puasa, ia tidak wajib dibunuh menurut ijma (consensus) para fuqaha’. Ia dilarang makan dan minum selama bulan ramadhan, dan dijatuhi ta’zir (sanksi disiplin). Jika ia mau berpuasa, ia dibebaskan dari ta’zir (sanksi disiplin), dan diserahkan kepada kejujurannya. Jika ia dilihat orang lain makan pada bulan puasa, ia dikenakan ta’zir (sanksi disiplin), dan tidak dibunuh.
Sedang orang yang meninggalkan zakat, ia tidak dibunuh karenanya, dan sebagai gantinya zakat diambil dari kekayaannya secara paksa. Jika ia menyembunyikan kekayaannya, ia dikenakan ta’zir (sanksi disiplin). Jika zakat gagal diambil dari kekayaannya, karena ia bersikeras menolak menyerahkannya, ia diperangi karenanya, kendati peperangan membuatnya terbunuh. Ia terus diperangi hingga zakat bisa diambil darinya, sebagaimana Abu Bakar Radhiyallahu Anha memerangi orang-orang yang membangkang membayar zakat.
Sedang haji, menurut Imam Syafi’I, Kewajiban haji bisa ditunda sejak seseorang mampu mengerjakannya hingga ia meninggal dunia. Menurut madzhab Imam Syafi’I, “Kewajiban haji tidak gugur, jika pelaksanannya ditunda hingga waktunya habis.”
Menurut pendapat Abu Hanifah, “Haji harus dikerjakan seketika itu juga.” Menurutnya kewajiban menunaikan haji menjadi gugur, jika seseorang menunda pelaksanannya hingga waktunya habis, namun ia tidak dibunuh, dan tidak pula dikenakan ta’zir (sanksi disiplin), karena setelah waktunya habis, ia menunaikan haji bukan dengan niat menggantinya. Jika ia meninggal dunia sebelum melaksanakan ibadah haji, ia dihajikan orang lain dengan menggunakan uangnya.
Adapun orang yang menolak menunaikan hak-hak manusia sesamanya, misalnya membayar hutang dan lain sebagainya, maka hutang tersebut diambil daripadanya dengan paksa jika itu memungkinkan dan orang yang bersangkutan dipenjara jika tidak mau membayar hutang. Kecuali jika ia mengalami kesulitan keuangan, ia diberi kelonggaran waktu sampai ia mempunyai uang. Inilah ketentuan meninggalkan hal-hal yang diperintahkan.
Adapun ketentuan mengerjakan hal-hal yang dilarang, maka terbagi ke dalam dua bagian ;
1. Yang terkait dengan hak-hak Allah ta’zir (sanksi disiplin) Ta’ala, yaitu empat hal; Pertama, hudud (hukuman syar’i) zina. Kedua, hudud (hukuman syar’i) minuman keras. Ketiga, hudud (hukuman syar’i) mencuri. Keempat, hudud (hukuman syar’i) mengganggu keamanan.
2. Yang terkait dengan hak-hak manusia, yaitu dua hal; Pertama hudud (hukuman syar’i) menuduh orang berzina. Kedua hudud (hukuman syar’i) menuduh orang melakukan tindak kriminal. Masing-masing dari kedua hal tersebut akan dijelaskan pada tempatnya masing-masing dengan rinci.

(sumber: kitab Al Ahkam Al Sulthaniyyah karya Imam Al Mawardi)

This entry was posted in ,,. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Sebelum berkomentar pastikan anda telah membaca keseluruhan postingan. Pastikan komentar anda berhubungan dengan apa yang sedang dibahas. Gunakanlah kata-kata yang baik dan sopan.